Rabu, 28 September 2011

Benarkah Doa Orang yang Hidup Tidak Sampai Pada Mayit

Benarkah Doa Orang yang Hidup Tidak Sampai Pada Mayit
Oleh,
H. M. Ali Maghfur Syadzili Iskandar
Sebagian diantara ummat Islam yang mengklaim dirinya paling Islam menyatakan bahwa mengirim pahala atau doa kepada orang yang telah meninggal tidak akan pernah bisa sampai. Ketika ditanya tentang dasar yang mereka pakai sebagai landasan pernyataan mereka, maka mereka akan menjawab bahwa pernyataan mereka itu berdasarakan:
Firman Allah:
 “(Yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. (QS. An-Najm; 38-39)
Ayat yang senada juga terdapat pada surat Al-An’am;164, Al-Isro’;15, Fathir;18, dan Az-Zumar; 7.
Serta berdasarkan sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang berasal dari sahabat Abu Hurairah:
إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila seorang manusia meninggal maka terputus amalnya kecuali yang tiga hal, sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang mendoakannya.”
Benarkah ayat dan hadits di atas bermakna sempit seperti yang diyakini oleh mereka yang menyatakan bahwa kiriman pahala atau doa dari orang lain tidak akan pernah sampai kepada orang yang telah meninggal?
Jika ayat tersebut dipahami sesempit itu maka bagaimana dengan sabda Nabi Muhammad yang berbunyi:
يَجِيءُ الرَّجُلُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنَ الْحَسَنَاتِ بِمَا يَظُنُّ أَنَّهُ يَنْجُو بِهَا، فَلا يَزَالُ رَجُلٌ يَجِيءُ قَدْ ظَلَمَهُ بِمَظْلَمَةٍ، فَيُؤْخَذُ مِنْ حَسَنَاتِهِ فَيُعْطَى الْمَظْلُومُ حَتَّى لا يَبْقَى لَهُ حَسَنَةٌ، ثُمَّ يَجِيءُ مَنْ يَطْلُبُهُ، وَلَمْ يَبْقَ مِنْ حَسَنَاتِهِ شَيْءٌ، فَيُؤْخَذُ مِنْ سَيِّئَاتِ الْمَظْلُومِ، فَيُوضَعُ عَلَى سَيِّئَاتِهِ (رواه الحاكم والطبراني)
“Pada hari kiamat datang seorang lelaki dengan kebaikan-kebaikannya yang dikira akan mampu menyelamatkannya. Namun ternyata lelaki itu adalah orang yang suka berbuat dhalim. Kebaikan-kebaikan itu diambil dan diberikan kepada orang yang didhalimi sampai dia tidak memiliki kabaikan sedikitpun. Kemudian datang orang lain yang didhalimi lagi tetapi dia sudah tidak memiliki kebaikan maka diambilllah kejelakan orang yang didhalimi yang lalu diberikan kepadanya”. (HR. Hakim dan Thabrani)
Dan masih banyak hadits lain yang menerangkan pemindahan kebaikan dan kejelekan kepada orang lain, seperti orang yang menfitnah, menggunjing dan lain sebagainya.
Sedangkan yang berkaitan dengan hadits Muslim di atas, Imam Nawawi dalam “Syarh”nya menyebutkan bahwa para ulama mengatakan: ”Makna hadits itu adalah amal orang yang meninggal terputus dengan kematiannya dan terputuslah jawaban baginya kecuali tiga hal karena dirinya yang menjadi sebab itu semua. Sesungguhnya anak merupakan hasil dari usahanya demikian pula ilmu yang ditinggalkannya dari pengajaran atau karya-karyanya serta sedekah jariyah adalah wakaf.”
Imam Nawawi juga menyebutkan bahwa hadits itu menjelaskan bahwa doa pahalanya akan sampai kepada si mayit, demikian pula sedekah, keduanya adalah perkara yang telah disepakati oleh para ulama. (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi juz XI juz 122 - 123)
Jadi ternyata ayat tersebut menceritakan tentang orang yang tidak pernah melakukan apa-apa lantas ada kesalahan pemberian pahala dan pelimpahan dosa orang lain. Karena hal itu tidak akan mungkin terjadi.
Atau kalau ingin lebih fair lagi, justru hadits Muslim tersebut menerangkan sampainya kiriman pahala orang lain kepada orang yang telah meninggal, karena di dalamnya terdapat amal jariyah dan ilmu yang bermanfaat. Adakah amal jariyah yang tidak dikirimkan oleh orang lain? Apakah orang yang telah meninggal dapat mengamalkan ilmunya? Jawabannya adalah amal jariyah dan ilmu manfaat yang dimaksud adalah yang dilakukan oleh orang lain setelah dia (orang yang beramal dan mengajarkan ilmu) telah meninggal dunia.
Ulama terkemuka kalangan anti tahlil, yakni Ibnu Taimiyah, justru memberi bantahan yang keras kepada para pengikutnya sendiri atas penggunaan dalil ayat ini:
وَمَنِ احْتَجَّ عَلَى ذَلِكَ بِقَوْلِهِ تَعَالَى وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى فَحُجَّتُهُ دَاحِضَةٌ (اَيْ بَاطِلَةٌ) فَإِنَّهُ قَدْ ثَبَتَ بِالنَّصِّ وَاْلإِجْمَاعِ أَنَّهُ يَنْتَفِعُ بِالدُّعَاءِ لَهُ وَاْلاِسْتِغْفَارِ وَالصَّدَقَةِ وَالْعِتْقِ وَغَيْرِ ذَلِكَ (المسائل والأجوبة لابن تيمية 1\132)
“Orang yang berhujjah tidak sampainya pahala dengan firman Allah: “Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (An-Najm;39), maka hujjahnya salah fatal. Sebab telah dijelaskan dalam nash dan Ijma Ulama bahwa mayit menerima manfaat dengan doa kepadanya, memintakan ampunan, sedekah, memerdekakan budak dan sebagainya”. (al-Masail wa al-Ajwibah, Ibnu Taymiyyah, I/132)
Atau bagaimanakah cara mereka memahami hadits:
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ (رواه المسلم وأحمد والطبراني والبيهقي وابن ماجة وابن حبان)
“Barangsiapa mengajarkan kebaikan dalam Islam lalu orang yang diajari melakukannya maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melaksanakan dengan tanpa berkurang sedikitpun. Dan barangsiapa mengajarkan kejelekan dalam Islam lalu orang yang diajari melakukannya maka dia mendapatkan dosa seperti dosa orang yang melaksanakan dengan tanpa berkurang sedikitpun.” (HR. Muslim, Ahmad, Thabrani, Baihaqi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban)
Untuk lebih jelasnya bahwa kiriman pahala atau doa kepada orang yang telah meninggal bisa sampai, banyak sekali landasan yang ada, baik dari Al Quran maupun Hadits. Diantaranya adalah:
Firman Allah I:
وَالَّذِينَ جَاؤُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan Saudara-saudara kami yang Telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr : 10)
Di dalam doa tasyahud juga disebutkan:
السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِينَ (متفق عليه)
“Semoga kesejahteraan bagimu wahai Nabi juga rahmat dan berkah Allah. Semoga kesejahteraan juga kepada kami dan hamba-hamba Allah yang shaleh” Sesungguhnya apabila dia mengatakan hal itu maka akan mengenai setiap hamba yang shaleh di langit dan bumi.” (HR. Bukhari Muslim)
Juga disyariatkannya doa seorang muslim untuk kaum muslimin yang telah meninggal apabila dia melintasi pemakaman, sebagaimana didalam hadits Buraidah berkata, ”Rasulullah mengajari mereka apabila keluar menuju pemakaman hendaklah mengatakan:
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ لَاحِقُونَ أَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمْ الْعَافِيَةَ
“Semoga kesejahteraan bagi kalian wahai para penghuni kubur dari kalangan mukminin dan muslimin. Dan sesungguhnya kami insya Allah akan menyusul. Aku meminta kepada Allah keselamatan buat kami dan kalian.” (HR. Muslim)
Hadits senada dengan redaksi yang berbeda juga banyak dijumpai pada kitab hadits yang lain.
Demikian pula doa untuk mayit ketika menshalatinya, didalam hadits Abu Hurairoh berkata,”Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Apabila kalian menshalati seorang mayit maka ikhlaskanlah doamu untuknya.” (HR. Abu Dawud)

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites